Jakarta - Kitab Ayub
adalah salah satu kitab tertua dalam Perjanjian Lama yang berisi
perkataan Hikmat. Unik sekali jika kita boleh menyelidiki kitab ini
dengan seksama, hikmat yang diajarkan muncul dari realitas kehidupan
seorang pria saleh bernama Ayub -- dalam bahasa aslinya berarti "yang tertindas".
Ia dikenal sebagai orang saleh yang mendapat ujian dari Allah.
Allah telah mengambil segala sesuatu yang dimilikinya, mulai dari harta,
relasi, hingga kesehatan fisiknya hingga ia benar-benar mengalami kekosongan dan hanya Allah saja yang ada dalam hidupnya. Ia orang benar, taat, dan saleh, tetapi ia menderita dan tertindas.
Kesetiaan Ayub bagaikan emas yang telah teruji, dalam penderitaan yang ia hadapi, ia tetap beriman pada Allah dalam segala keadaan. Pada edisi bulan ini kita bersama akan belajar dari kitab Ayub, pelajaran hikmat yang akan menolong kita melihat kasih karunia Allah dalam hidup setiap anak-Nya.
Allah kita adalah Allah yang mendidik dan memberi ujian hidup. Alkitab tidak pernah mengatakan, jika kita menjadi pengikut Kristus kita akan berlimpah materi dan kebahagiaan
dunia. Jika ada khotbah yang demikian tentu adalah tipuan belaka.
Justru sebaliknya, mengikut Kristus berarti siap menderita bagi Dia, pikul salib, dan menyangkal diri. Adalah suatu anugerah jika kita boleh mengambil bagian dalam penderitaan-Nya untuk menjadi saksi Kristus.
Kiranya kita senantiasa boleh belajar mengerti maksud Allah di balik
setiap penderitaan yang benar, bersabar menanggungnya dan saling
menguatkan sebagai satu tubuh dalam Kristus. Selamat membaca. Soli Deo Gloria!
Di dalam bidang studi Alkitab, ada lima kitab yang secara umum dimasukkan ke dalam kategori "Literatur Hikmat" atau "Kitab Puisi di dalam Perjanjian Lama".
Kelima kitab itu adalah Amsal, Mazmur, Pengkhotbah, Kidung Agung, dan
Ayub. Dari kelima kitab ini, hanya ada satu yang menonjol dan terkesan
berbeda dari keempat kitab lainnya.
Kitab itu adalah Ayub. Hikmat yang
diperoleh dari Kitab Ayub tidak disampaikan dalam bentuk amsal.
Melainkan, Kitab Ayub berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan hikmat
dalam konteks naratif yang bersentuhan dengan penderitaan besar yang
dialami oleh Ayub.
Latar belakang naratif ini ada dalam konteks masa patriarki.
Banyak pertanyaan yang berkaitan dengan tujuan penulis kitab ini,
apakah sebagai sejarah naratif dari seorang individu nyata atau apakah
berkaitan dengan struktur mendasar kitab ini, yaitu sebagai sebuah drama
dengan kalimat pembuka, termasuk adegan pembukaan di Surga yang
melibatkan Allah dan Iblis,
dan bergerak menuju klimaks di bagian penutup kitab, di mana hal-hal
yang terhilang dari Ayub pada masa-masa pencobaan digantikan.
Dalam segala aspek, pesan mendasar
dari kitab Ayub adalah hikmat yang berkaitan dengan pertanyaan seperti
bagaimana keterlibatan Allah di dalam penderitaan yang dialami manusia.
Di dalam setiap generasi, protes bermunculan dan menyatakan bahwa jika Allah itu baik, seharusnya tidak ada penderitaan, penyakit,
maupun kematian di dunia ini.
Bersama dengan protes yang menentang
hal-hal buruk yang terjadi di dalam kehidupan orang baik, ada juga
beberapa usaha untuk menciptakan rumusan dari penderitaan, dengan
mengasumsikan bahwa porsi penderitaan seseorang terkait dengan rasa bersalah yang mereka miliki, juga dosa yang sudah mereka lakukan.
Respons yang cepat atas hal ini dapat dilihat di dalam Yohanes 9:2-3 ketika Yesus memberikan tanggapan pada pertanyaan para pengikut-Nya yang berkaitan dengan penyebab penderitaan dari seorang laki-laki yang terlahir buta.
Di dalam Kitab Ayub, sang tokoh utama digambarkan sebagai orang yang benar,
bahkan orang yang paling benar hidupnya yang bisa ditemukan di seluruh
bumi, namun menurut Iblis, Ayub bersikap benar hanya demi mendapatkan berkat
dari tangan Allah.
Allah telah membentengi hidupnya dan memberkati dia
di antara segala manusia, namun Iblis menuduh bahwa Ayub melayani Allah
hanya karena berkat-berkat yang diberikan oleh Penciptanya. Tantangannya
adalah ketika Iblis menantang Allah untuk mengangkat semua perlindungan-Nya dari dalam hidup Ayub, untuk melihat apakah Ayub akan mulai mengutuki Allah.
Seiring dengan berjalannya cerita, penderitaan Ayub bergerak cepat dari
buruk, menjadi lebih buruk. Penderitaannya begitu besar sehingga ia
sampai duduk di atas abu, mengutuki hari kelahirannya, dan menangis
keras dalam penderitaan yang berkepanjangan.
Penderitaannya begitu
besar, sehingga istrinya sendiri menyarankannya untuk mengutuki Allah,
supaya pada akhirnya ia bisa meninggal dan terlepas dari penderitaannya.
Hal yang dinyatakan lebih lanjut di dalam kitab Ayub adalah ketika
ketiga sahabat Ayub, yakni Elifas, Bildad, dan Zofar memberikan
pendapat.
Pernyataan mereka menunjukkan betapa rendah kesetiaan
mereka pada Ayub, dan betapa pikiran mereka begitu cepat menilai Ayub
(tanpa didasari pengetahuan yang benar), sehingga mereka berpikir bahwa
penderitaan Ayub pastilah karena masalah karakter Ayub sendiri.
Penghiburan dan nasihat yang diterima Ayub mencapai tingkat yang lebih tinggi berkat pemahaman mendalam yang disampaikan oleh Elihu.
Elihu memberikan beberapa pernyataan yang mengandung muatan hikmat yang
alkitabiah, namun hikmat terakhir yang diperoleh dari dalam kitab yang
hebat ini bukan datang dari teman-teman Ayub, bahkan Elihu, melainkan
dari Allah sendiri.
Ketika Ayub meminta jawaban dari Allah, Allah menjawab dengan jawaban keras: "Siapakah
dia yang menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak
berpengetahuan? Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Aku akan menanyai
engkau, supaya engkau memberi tahu Aku" (Ayub 38:1-3).
Ini adalah interogasi intens yang pernah dilakukan terhadap manusia
oleh Pencipta-Nya. Kesan pertama yang ditangkap adalah Allah sedang
mengolok-olok Ayub, ketika Ia bertanya, "Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian!" (ayat 4).
Allah kemudian mengajukan pertanyaan demi pertanyaan seperti, "Dapatkah
engkau memberkas ikatan bintang Kartika, dan membuka belenggu bintang
Belantik? Dapatkah engkau menerbitkan Mintakulburuj pada waktunya, dan
memimpin bintang Biduk dengan pengiring-pengiringnya?" (Ayub 38:31-32).
Sangat jelas bahwa jawaban yang bisa disampaikan terkait dengan pertanyaan retoris ini adalah selalu, "Tidak, tidak, tidak."
Allah seakan-akan memukul kalah Ayub, dan melanjutkan pertanyaan demi
pertanyaan mengenai kemampuan Ayub untuk melakukan suatu hal yang tidak
mampu ia lakukan, namun sangat jelas dapat dilakukan oleh Allah.
Di dalam pasal 40, akhirnya Allah berkata kepada Ayub, "Apakah si pengecam hendak berbantah dengan Yang Mahakuasa? Hendaklah yang mencela Allah menjawab!" (ayat 2).
Sekarang, Ayub menjawab pertanyaan ini bukan dengan cara yang menyimpang, tetapi sebaliknya ia mengatakan, "Sesungguhnya,
aku ini terlalu hina; jawab apakah yang dapat kuberikan kepada-Mu?
Mulutku kututup dengan tangan. Satu kali aku berbicara, tetapi tidak
akan kuulangi; bahkan dua kali, tetapi tidak akan kulanjutkan" (ayat 4-5).
Dan kemudian Allah kembali menginterogasi Ayub dengan
pertanyaan-pertanyaan yang jelas mengambarkan kekontrasan antara kuasa
Allah, Siapakah Dia yang dikenal Ayub dengan nama El Shaddai,
dan ketidakberartian Ayub.
Akhirnya, Ayub mengakui bahwa hal-hal itu
terlalu mustahil dan hebat untuk dilakukan olehnya. Dia mengatakan, "Hanya
dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang
mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku
dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu" (Ayub 42:5-6).
Apa yang berharga dari pelajaran ini adalah bahwa Allah tidak pernah secara langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan Ayub. Allah tidak mengatakan, "Ayub, alasan kamu mengalami penderitaan adalah ini dan itu."
Sebaliknya, apa yang Allah lakukan di tengah misteri penderitaan yang
hebat itu adalah dengan menjawab Ayub dengan Diri-Nya sendiri. Ini
adalah hikmat yang menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan
penderitaan manusia - bukan jawaban mengenai kenapa saya harus menderita
dengan cara, situasi, dan waktu tertentu, namun di manakah (kepada
Siapakah) pengharapan saya berlabuh di tengah penderitaan itu.
Jawaban terhadap pertanyaan itu dapat dengan jelas ditemukan di dalam
kitab Ayub yang selaras dengan kitab-kitab hikmat lainnya: takut akan
Allah adalah permulaan hikmat.
Dan saat kita begitu disibukkan dan
dibuat pusing oleh hal-hal yang tidak bisa kita pahami di dalam dunia
ini, kita tidak selalu mencari jawaban yang spesifik atas pertanyaan
spesifik yang kita ajukan, namun kita mencari pengenalan akan Allah dalam kekudusan-Nya, kebenaran-Nya, keadilan-Nya, dan dalam anugerah-Nya. Itulah hikmat yang bisa kita peroleh dari kitab Ayub.
Sumber : http://reformed.sabda.org
Amin
ReplyDeleteafbcash
ReplyDeletew88 slot
m88 indonesia
lotus4d
macaubet88
dewa togel
mpo99
situs sbobet
agen casino online
casino deposit pulsa