Jalan Berliku Penjual Nasi Mencari Keadilan


Jakarta - Siang itu sinar matahari cukup menyengat kulit. Debu-debu akibat truk-truk pasir yang berlalu lalang berterbangan menempel pada mobil yang melewati jalan berlubang.

Tepat di seberang jalan tempat transit truk-truk yang mengambil batu-batu bahan bangunan dari Gunung Sindur berdiri warung seluas 3 x 3 meter persegi yang terbuat dari bambu. Warung yang ditutupi spanduk partai terlihat cukup sibuk.

Lima orang sopir dan pengangkut batu sedang bercengkrama santai dilayani oleh dua perempuan pemilik warung. Saat CNNIndonesia.com tiba, dua orang perempuan tersenyum ramah menyambut.

Mereka meninggalkan warung dan mengajak duduk di saung belakang warung untuk bercerita. Sekali-kali mereka meninggalkan beranda belakang untuk melayani para pengujung. Mereka adalah Yeni dan Siti Maria.

Yeni adalah kakak kandung Yusli, dan Maria adalah mantan istri Yusli. Yusli atau yang biasa disapa Iyus adalah pelaku pencuri kendaraan bermotor yang tewas dianiaya dan ditembak tiga anggota Reserse Kriminal Polsek Cisauk, Banten. Mereka adalah Briptu Aan Tri Haryanto, Briptu Hermanto, dan Briptu Riki Ananta Sembiring.

Maria membuka perbincangan. Dengan suara berat dan muka berkaca, ia menceritakan pengalaman terakhir kalinya melihat suaminya hidup dan diseret dari rumahnya yang bertipe 21.

Waktu itu Senin, 26 Desember 2011, sekitar pukul 3 dini hari, tiga orang polisi berbaju sipil mengetok pintu rumah yang ditempati Maria dan keluarganya, serta Yusli di Kampung Lewiranji, Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor.

Bapak Maria terbangun dan membuka pintu. Tanpa permisi dan penjelasan, tiga orang yang membawa dua senapan laras panjang menggeledah rumah yang memiliki dua kamar tersebut. Lalu mereka memukul kepala, memborgol, dan menyeret Yusli menuju mobil.

Maria yang baru menikah satu bulan pada November 2011 dengan Yusli lantas menghubungi Yeni. Mereka berdua mendatangi tujuh polsek terdekat, dari Polsek Cisauk, Ciputat, hingga Pamulang. Hasilnya nihil. Pihak Polsek Cisauk membantah ada penangkapan dan senjata tergantung rapi.

"Kemudian besok siang kami ditelepon sama Pak Lurah. Katanya Iyus di Kramat Jati (RS Polri) meninggal," kata Maria kepada CNNIndonesia, di Cisauk, Banten (30/6).

Mendengar kabar itu, Maria dan Yeni segera meluncur ke Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I R Said Sukanto tersebut. Saat melihat jenazah, air mata mereka mengalir deras.

Kepala Yusli masih berlumur darah, di muka dan dada penuh cakar, rahang dan tulang iga patah, tumit hingga jari-jari kaki penuh memar, dan dada kiri bolong akibat tembakan yang menembus jantung. Yeni dan Maria meminta jenazah untuk divisum.
"Saya yakin adik saya disiksa dahulu, baru karena dirasa mau mati baru ditembak. Tidak mungkin ditembak dulu baru disiksa," kata Yeni.

Belum hilang kesedihan mereka, Lurah Desa Mekarsari Jurjani menawarkan uang Rp2 juta sebagai rasa simpati dan selembar kertas kosong yang harus ditandatangani.

"Lurah malam itu keukeuh minta jenazah jangan divisum, tapi langsung dibawa pulang. Saya juga disuruh tanda tangan surat pengambilan jenazah di kertas kosong. Saya nolak dan tanya buat apa? Kata Lurah buat surat supaya tidak ada tuntutan. Lurah juga sampai nyuruh preman, tokoh masyarakat, orang desa agar saya ambil jenazah malam itu juga," katanya.

Kenang Yeni, berdasarkan informasi dari penyidik polres dan persidangan, setelah ditangkap, Yusli yang dimakamkan di Desa Bojong Keong tidak langsung dibawa ke Polsek Cisauk melainkan ke hutan di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek), Serpong, Kota Tangerang Selatan. Di situlah terjadi tindakan kekerasan hingga pembunuhan terhadap adiknya yang bekerja sebagai kernet truk pasir.

Sidang Disiplin Tak Ujung Terlaksana

Yeni tegas menolak tawaran uang Rp2 juta dan permintaan damai tersebut karena nyawa adiknya yang meninggal pada usia 23 tahun itu lebih berharga dari uang. Walau hanya lulusan sekolah dasar dan harus melewati proses birokrasi rumit, dan penuh intimidasi, Yeni terus berjuang mencari keadilan untuk adiknya.

Yeni mengakui adiknya pernah salah dan melakukan pelanggaran hukum, namun bukan berarti menjadi hak polisi untuk mencabut nyawa adiknya. Yusli sudah mempertanggungjawabkan kejahatannya dengan menjalani hukuman 10 bulan penjara di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba atas kasus pencurian motor.

Menurut Yeni, 2011 menjadi tahun penuh kenangan dalam hidup adiknya. Yusli ditangkap pada Januari 2011, keluar dari penjara Agustus, kemudian menikah November, dan Desember 2011 menghirup napas untuk terakhir kali.

Yeni dan Maria melaporkan kejadian tersebut ke Polres Kabupaten Tangerang, Tigaraksa, atas kejahatan penculikan dan pembunuhan. Yeni meminta bantuan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) untuk melakukan pendampingan.

"Proses penyidikan hingga pengadilan sangat melelahkan. Kadang mikir, nyari keadilan saja segininya apa ya dipingpong sana sini sama Polres.
Adik saya sudah tidak bisa hidup lagi. Saya cuma mau buktiin adik saya tidak bersalah, dan polisi jangan bertindak seenaknya saja," kata Yeni dengan geram.

Jalan yang dihadapi Yeni dan Maria untuk mendapatkan keadilan tidak mudah. Mereka adalah orang desa yang tidak kaya, tidak memiliki kekuasaan, dan tidak melek hukum.

Mereka harus meninggalkan mata pencaharian sebagai penjual makanan di warung demi melalui proses birokrasi yang penuh liku, dan menguras tenaga serta pikiran. "Saat lapor dugaan penculikan dan pembunuhan terhadap adiknya, polisi polres gebrak meja dan bilang ada surat penangkapan. Tapi saya minta lihat suratnya, polisi itu diam," kata Yeni.

Mereka mengalami proses penanganan kasus yang lambat, pelayanan yang buruk, serta kasar dari polisi. Sering kali, Yeni dan Maria ingin bertemu dengan para penyidik dari reserse kriminal Polres Tigaraksa namun diacuhkan.

"Reaksi polisi polres malah kasar dan ngomong 'Dia (Yusli) kan maling emang panteslah digituin'. Terus, kalau datang, kami dipingpong dan mereka tidak bisa ditemui. Tapi giliran orang lain bisa ditemui. Hampir setiap hari kami ke Tigaraksa menanyakan perkembangan dan kadang kami nongkrong berjam-jam biar mereka risih dan merespons kami," Maria menimpali.

Setelah melalui proses penyidikan yang panjang sejak Desember 2011, akhirnya proses sidang dimulai pada awal Desember 2012. Kasus tersebut mendapatkan putusan resmi pengadilan pada Maret 2013.

Butuh 1 tahun membawa kasus tersebut ke pengadilan, dan 5 bulan proses persidangan. Langkah panjang dan melelahkan dalam mencari keadilan. Pengadilan Negeri Tangerang menghukum Briptu Aan Tri Haryanto 5 tahun penjara. Briptu Hermanto dan Briptu Riki Ananta Sembiring masing-masing divonis 2 tahun penjara.

Namun sidang disiplin terhadap para terpidana polisi tersebut hingga kini belum terlaksana. Menurut Yeni status mereka masih sebagai polisi aktif.

"Sampai sekarang saya nanya sidang disiplinnya saja tidak ada jawaban. Terakhir 2 minggu lalu saya SMS ke Propam tapi tidak dijawab. Terakhir Propam balas SMS 3 bulan lalu. Dia jawab nanti kalau sidang dimulai akan mengundang saya, tapi sampai sekarang tidak ada. Dari itu sampai sekarang saya sms tidak pernah dijawab," kata Yeni.

Selain itu, beberapa hari setelah putusan, Yeni yang mengenakan masker mendatangi Polres. Yeni iseng meminta tukang warung untuk bertemu dengan Ananta Sembiring

Tukang warung memanggil dan Ananta datang. Saat berjalan menghampiri, Ananta melihat dan sadar kalau itu Yeni lalu kabur meninggalkannya.

"Saya laporan ke Propam Polres kenapa dia tidak ditahan? Propam bilang akan diproses. Kami tidak menahan karena kalau ditahan di LP ada penyiksaan sendiri dari napi lain ke polisi," katanya.

Proses Hukum Polri

Secara terpisah, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar menyatakan segala jenis pelanggaran yang dilakukan anggota Korps Bhayangkara menjadi perhatian khusus. Dia memastikan, semua personel yang melanggar diproses sesuai mekanisme hukum yang ada.

Pernyataan Boy tersebut disampaikan menanggapi pertanyaan CNNIndonesia.com terkait data pelanggaran disiplin dan catatan kinerja Polri berdasarkan data Komisi Kepolisian Nasional.

“Manusia tidak harus selalu bisa menjadi baik, mungkin jalan hidupnya seperti itu. Yang penting risiko hukumnya harus dihadapi. Yang penting institusi Polri bisa bersikap objektif, benar ya benar dan salah berarti salah,” tutur Boy.

Atas laporan masih ada kekerasan penyidik kepada tersangka saat melakukan pemeriksaan di Polsek dan Polres, Boy menyebut, tuduhan kekerasan tersebut harus bisa dibuktikan. Jika terbukti, dia memastikan tindakan itu melanggar hukum.

“Asal dibuktikan saja ada sebuah tindak kekerasan, melalui sebuah proses hukum. Sama dengan perkara pidana lainnya. Jadi kalau kekerasan itu berdampak pada terganggunya hak orang lain, jadikan perkara hukum saja. Biar diproses secara hukum,” ujar Boy.

Menurut Boy, proses hukum terhadap personel Polri sudah ditangani Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri. Namun Boy tidak berkomentar ketika ditanya mengenai jaminan tidak ada kompromi sesama anggota Polri atas dugaan pelanggaran atau kekerasan yang dilakukan personel.

Sumber : 

Berlangganan Berita Terbaru:

0 Response to "Jalan Berliku Penjual Nasi Mencari Keadilan"

Post a Comment

Sumber Lain