Dinamisnya Perdebatan Pasal Kumpul Kebo dan LGBT di MK


Jakarta - Berbeda dengan sidang-sidang sebelumnya, sidang permohonan perluasan pasal zina dan homoseks yang digelar di Mahkamah Konsttitusi (MK) Selasa (30/8) berjalan lebih dinamis. Hakim konstitusi tampak lebih antusias mengikuti persidangan.

Sidang sebelumnya merupakan sidang dengan mendengarkan sembilan ahli dari kubu pemohon. Di mana pemohon meminta pasal zina menjadi seluruh pelaku kumpul kebo dipenjara, demikian juga dengan pasal homoseks terhadap anak diminta untuk diluaskan menjadi homoseks untuk semua usia. Di sidang-sidang itu, hakim konstitusi tampak pasif dan satu arah.

Tapi dalam sidang lanjutan yang menghadirkan Komnas Perempuan dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), sidang berjalan lebih dinamis. Para hakim konstitusi tampak aktif menggali secara detail peta hukum di kasus pidana asusila itu dan melebar ke banyak hal.

Perdebatan itu salah satunya soal kewenangan MK menjadi penafsir KUHP dan meluaskan pasal yang diuji tersebut.


"Yang pertama begini. Kalau itu diputus oleh Mahkamah Konstitusi berarti kurang komprehensif atau kurang holistik dibanding kalau itu dibahas melalui legislative review di DPR dan presiden. Kemudian yang kedua. Saudara seolah-olah mengadu antara persetujuan rakyat dan kewenangan konstitusional yang diberikan oleh konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi," kata Ketua MK Prof Dr Arief Hidayat sebagaimana dikutip dari risalah sidang MK yang dilansir website MK, Rabu (31/8/2016).

Penyataan dan pertanyaan itu ditujukan kepada ICJR yang awalnya menilai MK tidak berwenang memutus perkara terkait. Cecaran Arief Hidayat disambar hakim konstitusi Aswanto dan lebih mengerucut.

"Tadi Saudara menyampaikan juga bahwa sebenarnya pembahasan yang dilakukan di ruangan ini sebenarnya mestinya dipindah ke Senayan (DPR) gitu. Tapi Saudara mengatakan bahwa sebenarnya tetap menjadi menarik ketika ada jaminan bahwa Mahkamah Konstitusi tetap menjadi penafsir. Ini kelihatannya Saudara tidak mempercayai Mahkamah Konstitusi. Tetapi saya kira itu hak Saudara, ya," kata Prof Dr Aswanto yang juga guru besar Universitas Hasanuddin, Makassar itu.

Hakim konstitusi Suhartoyo juga senada dengan Arief Hidayat.

"Artinya itulah Mahkamah Konstitusi sebenarnya adalah lembaga yang menyempurnakan. Seperti kata Pak Ketua tadi. Menyempurnakan undang-undang yang ternyata memang banyak persoalan, yang harus perlu dikoreksi di sempurnakan. Ya kan? Tidak mungkin Mahkamah Konstitusi akan kemudian serta akan mengabulkan tanpa kemudian kendali atau tanpa itu," ujar Suhartoyo.

Setelah membahas kewenangan, perdebatan melebar kepada hak-hak perempuan. Hakim konstitusi Prof Dr Maria Farida Indarti menggali pandangan Komnas Perempuan soal gagasan RUU terkait hak-hak perempuan seperti RUU Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan.


"Saya rasa tadi dikatakan bahwa akan ada Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan pasalnya bisa sampai 250, walaupun dikatakan yang bisa dikriminalisasi hanya 9 permasalahan. Apakah tidak kemudian ditinjau ulang dan kemudian dimasukkan ke dalam satu rancangan undang-undang sekaligus, gitu. Karena kita punya Undang-Undang KDRT, ada Undang-Undang Perlindungan Anak, ada Undang-Undang tentang Kesetaraan Gender, kemudian ada Undang-Undang tentang Pornografi, dan semuanya itu orientasinya adalah menghapuskan kekerasan pada perempuan sebetulnya," kata guru besar Universitas Indonesia itu.

"Nanti kalau ada RUU lagi ini apakah itu malah tidak tumpang tindih?" tanya profesor dalam bidang hukum perundang-undangan itu.

Hakim konstitusi Patrialis Akbar mencecar sikap ICJR dalam konsep zina dan hubungannya dengan agama.


Tadi kan Saudara juga bicara masalah perlindungan perkawinan, ya. Pertanyaan saya, sejauh yang Saudara ketahui, tadi saya bicara juga masalah nilai-nilai moral, nilai-nilai agama. Sejauh yang Saudara ketahui, apakah ada agama yang hadir di Indonesia ini yang membenarkan perbuatan zina yang ada, yang dimaksudkan oleh Pemohon, pokoknya hubungan suami istri yang tidak sah, ada enggak agama yang melarang itu?" ucap Patrialis yang pernah menjadi Menkum HAM itu.

Bagaimana dengan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna? Karena dalam kesempatan sebelumnya ia menyatakan MK tidak berwenang mengadili materi gugatan karena masuknya ranah DPR, ia memilih menggali soal batasan moral dan negara.


"Di mana negara harus stop dalam kehidupan pribadi. Ini yang menimbulkan, di mana-mana bukan hanya Indonesia, problemnya adalah persoalan yang melatar belakang itu, bisa ideologi, bisa latar belakang tradisi, bersumber agama dan macam-macam. Tapi general rules harus kita luruskan. Pertanyaan saya adalah, itu di mana batas-batasnya itu?" kata Palguna.

Dalam kesempatan itu, perwakilan ICJR menyatakan tidak ada niatan meragukan kewenangan MK.


''Tapi ini akan saya klarifikasi juga yang tadi disampaikan oleh Yang Mulia Aswanto dan Yang Mulia Arief Hidayat. Kami ini salah satu yang paling sering bertamu di Mahkamah Konstitusi, Yang Mulia. Jadi, kami mau klarifikasi tidak ada sedikit pun niatan untuk tidak percaya karena kebetulan kita sering bertatap muka, Yang Mulia. Jadi, tentu saja kami percaya penuh kepada Yang Mulia," ujar Erasmus.

Dengan luasnya cakupan materi yang dibahas, MK akan kembali menggelar sidang lanjutan pekan depan dengan mendengarkan keterangan pihak terkait dari Koalisi Perempuan Indonesia, Yayasan Peduli Sahabat dan Persatuan Islam Istri.

Sidang ini digelar atas permohonan guru besar IPB Prof Dr Euis Sutrisna yang meminta MK meluaskan pasal zina dan homoseks sehingga pelaku kumpul kebo dan LGBT dipenjara.

Sumber : http://news.detik.com

Berlangganan Berita Terbaru:

0 Response to "Dinamisnya Perdebatan Pasal Kumpul Kebo dan LGBT di MK"

Post a Comment

Sumber Lain