Cerita Getir Masa Kecil Sudirman Berjuang Melawan Kemiskinan


Jakarta - Sudirman Said kecil dibangunkan oleh ibundanya di tengah malam. Ini adalah kali ketiga dirinya dibangunkan malam itu. Dan seperti dua kejadian sebelumnya, 4 saudaranya yang lain juga dibangunkan sang bunda. Sedangkan adiknya, Sartono, sudah bangun lebih dulu.

Sudirman dan saudaranya dibangunkan karena harus mengantar Sartono ke kali untuk buang air besar. Adiknya itu diare, dan saat itu, tahun 1975 di Desa Slatri, Brebes, Jawa Tengah, tidak ada rumah yang punya toilet. Mereka yang ingin buang hajat harus menuju ke kali. Masalahnya, listrik belum masuk ke Desa Slatri saat itu. Sudirman dan saudara-saudaranya mengandalkan lampu minyak (senthir) untuk mengantar Sartono ke kali. Sartono takut ditinggal dalam kegelapan, sehingga harus ditunggui oleh saudara-saudaranya.


Selesai Sartono buang hajat, mereka lalu kembali ke rumah gubuk yang beralaskan tanah. Sudirman, sebagai anak kedua, tidur di bawah beralaskan tikar pandan. Sedangkan adik-adiknya yang lebih kecil, tidur di atas bersama ibunya. Mereka bertujuh tidur di satu bilik di rumah hanya dengan diterangi cahaya dari satu senthir, yang tadi sempat dibawa untuk mengantar Sartono. Sudirman pun kembali tidur. Namun, belum lama menutup mata, Sartono bangun lagi, perutnya sakit lagi, minta diantar ke kali lagi.

Itu adalah sekelumit cerita kehidupan masa kecil Sudirman Said. Cerita itu sering diceritakan ke anak-anaknya sebagai pengingat agar selalu bersyukur.

Sudirman memang lahir dari keluarga pas-pasan, kalau tidak mau dibilang miskin. Ayahnya, Said Suwito Harsono, yang merupakan seorang kepala sekolah sebenarnya memiliki kedudukan sosial terhormat. Namun karena kebiasaan hidup ayahnya yang kurang baik, ekonomi rumah tangga Sudirman morat marit. Sang ayah meninggal saat Sudirman kelas 5 SD


Desa Slatri, tempat Sudirman berasal, termasuk salah satu desa termiskin di Brebes. Listrik baru masuk ke desa itu tahun 1984. Akses transportasi sulit, hanya mengandalkan andong. Sudirman mengenang, saat dia SD, untuk ke wilayah kota mengantar ibunya mengambil uang pensiun, dia dan sang bunda harus naik andong sekitar 6 jam.

"Pada waktu saya kecil tuh untuk ke kota mesti seharian, setengah harilah naik andong, naik dokar. Meliak liuk. Berangkat jam 06.00 WIB pagi sampai di kota jam 12.00 WIB siang. Dulu suka ikut ibu ngambil pensiunan ayah. Ngantre di kantor pos jam 02.00 WIB selesai. Pulang sampai rumah magrib. Itu kan kira-kira 15 Km sampai kota Brebes ya. Itu setengah hari tuh naik andong jalannya rusak, kadang-kadang masuk ke lumpur kalau hujan," tutur Sudirman mengenang masa kecilnya saat berbincang dengan detikcom, Rabu (10/8/2016).

Mantan Dirut PT Pindad ini mengenang saat itu teman seangkatan SD-nya ada sekitar 30 orang. Dari jumlah itu, hanya 4 orang yang melanjutkan ke SMP. Dari 4 orang itu, hanya 2 yang terus melaju hingga SMA. Dan dari 2 orang itu, hanya satu yang menuntut ilmu hingga Perguruan Tinggi.

Sudirman adalah anak yang melanjutkan pendidikannya ke SMP hingga ke perguruan tinggi. Untuk melanjutkan ke SMP, Sudirman harus meninggalkan rumah dan tinggal di tempat saudaranya desa tetangga, Desa Tegalagah, yang lebih maju dari Slatri. Istilah desanya, yang dilakukan Sudirman adalah ngenger, yaitu numpang tinggal sambil membantu pekerjaan sehari-hari saudaranya. Sesekali dia tetap pulang ke rumahnya di Desa Slatri.

Desa Tegalagah dekat pabrik gula. Nah, Sudirman menumpang truk yang dimiliki pabrik gula itu untuk menuju sekolahnya yang terletak di kota. Setiap pukul 05.00 WIB pagi dia berjalan sekitar 3 Km menuju pabrik gula, lalu naik truk yang akan mengantarnya ke kota. Lalu, pulangnya, dia kembali numpang truk yang sama kembali ke pabrik gula.

Awalnya, selesai dari SMP, Sudirman ingin dimasukkan ibunya ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Namun dia menolak, karena merasa badannya yang kecil tak cocok jadi guru.

"Saya nangis, gimana jadi guru kecil begini. Jadi saya maksa masuk SMA. Dan ibu saya almarhum tahu betul, SMA itu di samping mahal, kegiatannya banyak, seragam segala macem itu, dan nggak tahu abis SMA itu mau ke mana," ujar Master Bidang Administrasi Bisnis dari George Washington University, Washington DC, AS, ini.


Lanjut ke SMA, Sudirman masih tinggal di dekat kota. Transportasi saat itu sudah lebih baik, sudah ada angkutan pedesaan, meski jumlahnya tak banyak. Dia menjalani masa SMA-nya dengan tertatih-tatih, karena selalu telat bayar SPP. Namun untungnya Sudirman berprestasi. Tahun kedua SMA dia dibebaskan dari iuran SPP, dan akhirnya bisa menyelesaikan sekolah.

"Karena saya tahu SMA itu akan nggak bisa neruskan, maka kelas 2 atau kelas 3 saya mulai kursus tata buku, akuntansi, mau dipake modal cari pekerjaan," ujar Sudirman.

Bukannya mendapat pekerjaan yang sesuai bidang kursusnya, Sudirman malah menjadi kernet angkutan pedesaan. Pikiran Sudirman waktu itu sederhana, dengan menjadi kernet suatu saat dia akan diajari menjadi sopir, lalu bekerja menyopir angkutan pedesaan. Namun hidup berkata lain. Sebuah panggilan dari kakak tirinya mengubah jalan hidupnya.

"Saya punya kakak, kakak tiri namanya Pak Haji Mardono. Dia itu langganan (koran) Suara Karya, karena dia guru. Suatu sore dipanggil oleh kakak saya itu, Mas Mardono. "Ini ada sekolah nggak bayar". Saya baca, syarat-syarat kayanya bisalah. Paling bawah ada kata-kata selama pendidikan tidak dipungut biaya, itu aja yang dilihat, mau sekolah apa nggak penting gitu. Jadi, daftarlah ke Jakarta. Diterima. jalan hidup ya barangkali," tutur mantan staf khusus Dirut Pertamina itu.


Sekolah yang diiklankan adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Ibunda Sudirman menangis saat hendak melepas anaknya ke STAN. Di satu sisi sang ibu senang karena anaknya bisa meneruskan pendidikannya. Di sisi lain, sang ibu bingung biaya untuk hidup selama kuliah.

"Sama waktu itu diminta bayar Rp 12.000, kalau sekarang untuk semacam ospek lah. Pensiun ibu Rp 3.500, nggak kebayang waktu itu cari Rp 12.000. Akhirnya segala macem yang ada dijual lah, jual ayam, yang bisa dijual, dijual. Setelah itu pinjam-pinjam. Terus ibu bilang, "Udah kamu harus berangkat, yang lain-lain lupain aja"," tutur Sudirman.

Sang Ibu lalu mengantar Sudirman ke Jakarta. Pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) itu dititipkan ke saudara jauh yang tinggal di kompleks polisi. Sudirman kembali ngenger.

"Jadi saya itu hidupnya dua, satu, diongkosin Negara. Satu lagi numpang dari satu keluarga ke keluarga lain," ujar Sudirman sambil tersenyum.

Sudirman dan keluarganya di depan rumah adiknya, Nuridin Alim (Hasan Alhabshy/detikcom)

Dia tinggal dua tahun di keluarga itu. Setelah dua tahun di STAN, Sudirman mulai mendapat honor. Dia pun berpamitan ke keluarga yang menampungnya. Sudirman mencari kos-kosan dan mulai tinggal sendiri.

"Makanya saya bilang utang banyak pada Negara. Alhamdulillah dikasih kesempatan sedikit membayar kembali, payback istilahnya, berbuat untuk negara, masyarakat," ujarnya soal karir menterinya selama 21 bulan.

Sudirman pernah menulis lebih lengkap soal ibunya, saat dia masih menjadi Dirut PT Pindad. Tulisan lengkap soal ibunda Sudirman bisa dibaca di sini.

Sumber : http://news.detik.com

Berlangganan Berita Terbaru:

0 Response to "Cerita Getir Masa Kecil Sudirman Berjuang Melawan Kemiskinan"

Post a Comment

Sumber Lain