Kisah Pendeta Budieli Hia Bertahan Hidup dari Terjangan Ombak


Nias Barat – Ada yang pernah berkata maut hanya berjarak sekepalan tangan dari diri manusia. Ungkapan itu memang ada benarnya karena musibah bisa datang kapan saja, bahkan pada saat kita sedang berbahagia. 
Tak pernah terbersit dalam benak Pendeta Budieli Hia bahwa kegiatan memancing yang seharusnya menyenangkan, hanya dalam hitungan menit tiba-tiba menjadi bencana. Kapal yang ditumpanginya pecah dihantam ombak. Terombang-ambing seorang diri selama 11 jam di tengah lautan, jauh dari keluarga dan teman. Satu-satunya yang tetap dekat dengannya hanyalah Tuhan.
Hari itu, Rabu, 22 Juni 2016, sekitar pukul 16.00 WIB, Pendeta Budieli bersama dua temannya menyewa perahu untuk memancing dari Pulau Hinako menuju Pulau Bogi. Selain mereka, ada dua orang awak perahu hingga rombongan seluruhnya berjumlah lima orang.
Masih jelas terbayang pemandangan sore itu, nuansa yang menjadi awal dari rentetan kisah yang tak akan pernah bisa dilupakan sepanjang hidupnya. Cuaca cerah dan gelombang laut sangat bersahabat. Awak perahu dengan sigap mengendalikan laju perahu. Hanya dalam hitungan menit, mereka sudah jauh meninggalkan bibir pantai.
“Tapi sekitar lima menit setelah berlayar, tiba-tiba muncul angin kencang dan timbul ombak besar menghantam perahu hingga pecah dan tenggelam,” ujar Pendeta Budieli.
Dalam waktu sekejap kepanikan melanda. Kedua orang awak perahu berhasil menenangkan diri, kemudian dengan sigap berenang menuju arah Pulau Hinako, meninggalkan Pendeta Budieli dan orang lainnya.
Malang bagi Pendeta Budieli dan dua temannya, mereka sempat mengapung bersama dan sepakat berenang menuju daratan, tetapi terjangan ombak membuat mereka tercerai berai. Dengan berpegangan pada selembar papan, Pendeta Budieli bertahan selama 11 jam terombang-ambing di antara gelombang tinggi.
Pendeta Budieli mengisahkan bagaimana ia bertahan hingga selamat, setelah terdampar di Pulau Asu. Dia mengaku bukan karena kuat atau hebat berenang, tetapi karena selama berjam-jam ia terus berharap dan berdoa kepada Tuhan. Menyanyikan lagu rohani, berdoa Bapa Kami, dan Pengakuan Iman Rasuli, terus dia lakukan selama terombang-ambing tanpa kepastian.
Namun di tengah kepasrahan pada Tuhan, Pendeta Budieli sempat ingin menyerah. Tangannya sudah tidak kuat lagi mendekap papan. Perutnya mual hingga muntah. Bahkan matanya susah untuk dibuka karena terasa sangat perih setelah terus menerus tersiram air laut.
“Tapi lantas saya berdoa, berjanji kepada Tuhan, apabila Tuhan memberi pertolongan, saya akan lebih bersungguh-sungguh melayani Tuhan. Saya meminta Tuhan mengirimkan gelombang untuk mendorong saya ke daratan,” tuturnya.
Kuasa Tuhan pun terjadi. Entah bagaimana, tubuh Pendeta Budieli terdorong ombak hingga akhirnya terdampar di Pulau Asu dan ditolong warga. Anehnya, menurut kesaksian warga, pendeta yang merupakan MPH PGI ini sebenarnya bukan mengikuti arus menuju Pulau Asu, tetapi melawan arus. Sungguh nyata Kuasa Tuhan.
Pendeta Budieli pun mengaku selama berada di atas permukaan laut, topinya tidak pernah lepas meski berkali-kali terkena hantaman ombak. Topi itu merupakan cindera mata dari Sidang Raya PGI. Entah kebetulan atau tidak, sebuah tulisan tertera di depan topi itu: “Tuhan mengangkat kita dari Samudera Raya”.
Hingga berita ini ditulis, satu orang lagi masih belum ditemukan, yaitu Pendeta Herman Baeha yang juga aktif sebagai Anggota DPRD Nias Utara, sementara Pendeta Saron Marunduri sudah berhasil diselamatkan.

Sumber: http://www.suaranusantara.com

Berlangganan Berita Terbaru:

0 Response to "Kisah Pendeta Budieli Hia Bertahan Hidup dari Terjangan Ombak"

Post a Comment

Sumber Lain