Indonesia dan China di Pusaran Laut China Selatan


Jakarta - Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut menangkap kapal ikan berbendera China, Han Tan Cou 19038, yang tengah menebar jala di perairan Natuna, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Pelanggaran oleh China itu bukan kali pertama. Dalam tiga bulan, telah terjadi tiga pelanggaran. Pada Maret 2016, kapal Kway Fey 10078, dan Mei 2016, kapal Gui Bei Yu 27088, juga menangkap ikan secara ilegal.

China beralasan kawasan tersebut masuk dalam traditional fishing ground mereka. China memasukkan perairan Natuna ke dalam peta teritorialnya yang dikenal dengan istilah "sembilan garis putus-putus" atau nine-dashed line.

Nine-dashed line adalah garis demarkasi atau garis batas pemisah yang digunakan pemerintah Republik Rakyat China untuk mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan.

Indonesia dengan tegas menolak klaim China, mengatakan perairan Natuna 100 persen milik Indonesia, dan karenanya akan mengerahkan semua kekuatan untuk menjaga kedaulatan dari setiap pelanggaran.

Pulau-pulau terluar pada gugusan Kepulauan Natuna merupakan titik dasar terluar wilayah Indonesia. Indonesia pun telah menetapkannya dalam Deklarasi Juanda 1957 dan mendaftarkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2009 sesuai Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

Keseriusan Indonesia terlihat saat Presiden Indonesia Joko Widodo dan para menterinya menggelar rapat terbatas di atas KRI Imam Bonjol-383, kapal perang yang menangkap kapal China Han Tan Cou saat berlayar mengarungi perairan Natuna di Provinsi Kepulauan Riau.

Untuk memahami bagaimana duduk persoalan konflik antara Indonesia dan China di perairan Natuna, Wartawan CNNIndonesia.com Raja Eben Lumbanrau melakukan wawancara dengan Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri, Damos Dumoli Agusman, di Jakarta.


Bagaimana duduk persoalan konflik Indonesia China di wilayah Natuna?

Sebelum menjelaskan tentang Natuna. Kita harus paham apa yang sedang terjadi. Di Laut Tiongkok Selatan musti kita bedakan atas dua hal karena sering membingungkan.

Pertama, isu mengenai sengketa kepemilikan pulau. Jadi di Laut Tiongkok Selatan itu banyak karang-karang dan pulau-pulau kecil. Nah itu diperebutkan oleh China, Taiwan, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam.

Mereka berebutan dan yang diperebutkan juga beda-beda. Misal FIlipina merebut pulau sama dengan Malaysia, Filipina juga merebut pulau yang sama dengan Vietnam. Nah, tidak semua direbut oleh Filipina, tidak semua diklaim oleh Vietnam, dan Malaysia. Tapi, semua diklaim oleh China.

Ini satu persoalan yang disebut dengan sengketa kepemilikan pulau. Yang mengklaim pulau disebut claimant state. Indonesia bukan claimant state karena tidak ada sengketa pulau antara Indonesia di Laut Tiongkok Selatan. Natuna tidak diklaim sama China dan negara-negara lain. Indonesia juga tidak mengklaim pulau karang di Laut Tiongkok Selatan.

Kedua, ini yang kadang-kadang dicampur adukan dengan isu yang pertama, yaitu delimitasi batas maritim (maritime delimitation). Bukan soal pulau-pulau nya tapi soal batas-batasnya. Soal batas-batas ini harus diselesaikan oleh semua negara berpantaikan Laut Tiongkok Selatan karena negara-negara ini bertetangga.

Indonesia dengan Malaysia bertetangga harus bikin batasnya. Vietnam dan Indonesia harus buat batas juga. Namun biasanya penyelesaian batas ini hanya akan bisa dilakukan kalau siapa pemilik pulaunya sudah tegas, kecuali Indonesia karena tidak ada sengketa pulaunya.

Isu yang kedua ini lah Indonesia ada di pusaran, kalau di isu pertama Indonesia tidak ada urusan.


Apa maksud Anda Indonesia ada di pusaran?

Indonesia harus menyelesaikan batas dengan Malaysia kita sudah selesaikan landas kontinen. Kita juga harus buat batas dengan Vietnam dan sudah selesai dengan landas kontinen. Sekarang yang sedang dirundingkan adalah ZEE karena beda dengan landas kontinen.

Nah yang menjadi persoalan Indonesia dengan China adalah adanya garis nine-dashed line China yang tiba-tiba muncul dan masuk menerusuk ke wilayah ZEE Indonesia. Di sini persoalan muncul antara Indonesia dengan China.


Apa itu nine-dashed line?

Mengenai nine-dashed line ini, Tiongkok tidak pernah menjelaskan apa maksudnya. Tiba-tiba kayak garis dari langit saja muncul begitu saja. Cara menarik garis nya pun kita tidak tahu.

Banyak pemahaman mengenai nine-dashed line ini, kalau Kemlu Indonesia tidak mau berandai-andai apa itu. Cuma kita pelajari beberapa tafsir tentang ini dan yang paling lengkap itu Departement of State nya Amerika. Ada 3 kemungkinan arti nine-dashed line.

Pertama, nine-dashed line merupakan indikasi saja bahwa semua pulau di dalamnya diklaim China. Jadi hanya mengindikasi saja, ini aku punya loh. China hanya membuat garis-garis ini kemudian semua yang ada di dalam garis ini adalah punya dia. Ini tafsir oke, atau tidak bertentangan hukum internasional.

Kedua, ini agak berbahaya, nine-dashed line adalah garis batas terluar. Jadi semua air dan pulaunya punya China. Ini tafsir sangat eksesif dan sangat bertentangan tafsirnya dengan UNCLOS.

Ketiga, ini sangat ambigu, nine-dashed line mengambarkan bahwa perairan di dalamnya adalah hak historis yang diperoleh bukan berdasarkan UNCLOS, tapi historis.

Dari ketiga tafsir itu, yang kelihatan di lapangan itu tafsir dua dan tiga karena China mengirimkan nelayan-nelayanya menangkap ikan di situ. Berarti bukan persoalan klaim pulau dong, tapi persoalan perairan.


Kapan istilah nine-dashed line diketahui Indonesia?

Mulanya kita tahu peta nine-dashed line itu tahun 1993, waktu acara workshop tentang Managing Potential Conflicts in South China Sea. Delegasi China waktu itu mendistribusikan satu peta yang isinya itu ada nine-dashed line yang masuk sampai perairan Natuna.

Kita bereaksi, apa ini? apa maksud garis ini? Tiongkok membisu dan bilang terserahlah anda menafsirkannya.

Tiongkok membisu sampai ke insiden pertama Natuna yang Kapal Kway Fey 10078 itu. Dia mengartikulasikan garis itu dalam bentuk nelayan-nelayannya menangkap ikan di Natuna.

Kita razia lah kapalnya. Begitu dirazia China proses dan barulah dia menjelaskan this is traditional fishing ground. Proteslah kita. Apa itu traditional fishing ground? tidak ada itu di dalam UNCLOS. kita tolak gagasan ini.

Kemudian muncul lagi insiden. Di situlah China mulai mengeluarkan kartunya dengan mengatakan 'Yes, We have different opinions and yes, We have overlapping maritime rights and interest', itu istilah dia. Kita tanya what is this mean? Tidak bisa juga (China) menjelaskan dan hanya mengatakan berhak menangkap ikan di Natuna karena jawaban faktor historis. Ah sudahlah, sudah main historis semua. Kita tolak tegaslah.


Apa klaim historis berlaku dalam hukum internasional?

Begini ya, contoh sederhana saja. Tiba-tiba rumahmu didatangi orang. Dia ngomong 'ini rumahku karena ku dapat dari nenek moyangku'. Itu klaim historis. Apa anda terima? pasti tidak. Beda kalau klaimnya secara legal, 'ini rumahku dan ini dasarnya ada sertifikatnya'.

Jadi, Indonesia di Natuna tidak ada overlapping, tapi China yang merasa overlapping. Overlapping pun harus berdasarkan basis yang valid, nah Kalau China kan berdasarkan historis. Berdasarkan klaim sejarah itu, China merasa berhak menangkap ikan di Natuna.


Apa kebijakan Indonesia untuk menghindari kembali terjadinya pelanggaran kedaulatan hukum di Natuna?

Kita jawab tegas ke China. Kita bilang akan legal enforcement setiap kapalmu yang masuk Natuna. Makanya, ada penguatan-penguatan kapasitas di sana, seperti armada kapal dan sebagainya. Pemerintah Jokowi mengatakan akan tetap menjaga hubungan baik dengan Tiongkok. Tapi kalau soal prinsip, Indonesia tidak bisa mundur.

Jangan sampai Indonesia seperti negara lain, makanya kita harus tegas. Kalau di Filipina, China yang malahan menangkapi nelayan Filipina di wilayah Filipina, sepanjang itu berada di nine-dashed line. China juga menangkap nelayan Malaysia. Tapi kalau kita tidak bisa seperti itu, kita yang menangkap nelayan China.

Jadi dua hal ini tidak bisa dibenturkan, prinsip adalah prinsip, tapi secara bersamaan kita ingin ada hubungan baik dengan China. Kedua negara ini strategic partnership yang saling membutuhkan.


Apakah nine-dashed line mempengaruhi visi poros maritim dunia pemerintahan Jokowi?

Ada dan tidak ada nine-dashed line, poros maritim Indonesia tetap jalan, tidak ada masalah. Cuma pengaruhnya, hubungan Indonesia dan China menjadi agak dinamis, tapi masih bisa dikontrol karena komunikasi terus berjalan.

Sumber : http://www.cnnindonesia.com

Berlangganan Berita Terbaru:

0 Response to "Indonesia dan China di Pusaran Laut China Selatan"

Post a Comment

Sumber Lain