Jakarta - Gubernur DKI Basuki Tjahaja (Ahok) marah kontribusi tambahan yang dia kenakan sebagai syarat pengembang dapat izin prinsip reklamasi di Teluk Jakarta disebut sebagai barter. Dia mengaku memiliki dasar hukum untuk 'memungut' kontribusi tambahan yakni, Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995.
Hanya di Keppres tersebut tak disebutkan besarnya kontribusi tambahan yang bisa dikenakan kepada pengembang pulau reklamasi. Di situlah kemudian Ahok menggunakan kewenangan diskresinya berdasarkan undang-undang tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Pada Kamis, 19 Mei 2016 kemarin jurnalis detikcom Ray Jordan berkesempatan melakukan wawancara khusus dengan Ahok di ruang kerjanya, Balai Kota, jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Kepadadetikcom, Ahok menjelaskan panjang lebar soal asal muasal kontribusi tambahan untuk para pengembang pulau reklamasi.
Dia juga menjelaskan soal kontribusi tambahan dari PT Podomoro untuk mendapatkan izin prinsip pulau reklamasi. Berikut petikan lengkap wawancara Ahok dengan detikcom.
Anda keberatan kontribusi tambahan dari pengembang reklamasi disebut barter?
Jadi itu yang saya bilang. Tuduhan barter itu tidak pantas. Kalau barter itu kan pengertiannya sama-sama mendapatkan keuntungan. Jadi kamu ingin mendapatkan sesuatu, saya juga ingin mendapatkan sesuatu. Jadi clear, itu barter. Dalam sebuah tulisan, saya disebut melakukan barter. Kemudian dikeluarkan satu surat yang ramai di media, bahwa saya mendapat Rp 371 miliar untuk bangun rusun, jalan inspeksi dan macam-macam, termasuk Kalijodo. Terus disebutkan kontraknya ratusan miliar rupiah dan sudah dibayar sekian ratus miliar dan masih sisa seratusan miliar.
Jadi sebenarnya bagaimana awal mula Anda menarik kontribusi tambahan untuk pengembang reklamasi itu?
Kewajiban ini sebetulnya sudah jalan panjang. Jadi, waktu saya masuk ke sini sama Pak Jokowi (Gubernur Joko Widodo) 2012, kami dapat ini perjanjian kerja sama pengembangan antara Badan Reklamasi Pantau Utara Jakarta dengan PT Manggala Krida Yudha, ini pulau M.
Kenapa saya keluarkan ini? Karena saya dituduhkan tidak punya dasar. Aku ini orang baru yang datang dari Belitung, kemudian jadi DPR dan kemudian sama Pak Jokowi. Kita mana ngerti sih yang reklamasi, kita mana ngerti sih perjanjian. Tiba-tiba, izin (keluar). Kami periksa dong, Foke (Fauzi Bowo-red) tanda tangan apa saja sih waktu sebelum kami dilantik? Ternyata salah satunya adalah izin pulau-pulau. Kami periksa dong, mana surat-surat yang sudah ditandatangani Foke. Maka kami temukanlah izin pulau reklamasi. Waktu itu kami tanya sama Pak Jokowi, gila, reklamasi di DKI apa tidak nambah beban? Sekarang kamu bikin pulau reklamasi, sekarang saja orang sudah tidak bisa bangun rumah tinggal di Jakarta. Semua tinggal pinggiran, tiga juta lebih kendaraan masuk. Saya perlu cerita supaya punya bayangan alur pikirannya. Saya bilang sama Pak Jokowi, tidak bisa ini Pak. Ini kalau sudah jadi pulau, di ujung, pegawai kerjanya di mana? Mati kita kita Pak. Terus dibilang ada 5 persen, saya cari, mana perjanjiannya? Di situ disebutkan mereka wajib ngasih kita 5 persen. Saya bilang, 5 persen kini masih bahaya.
Kenapa bahaya?
Kita nggak usah minta 5 persen ini saja sudah dapat fasos dan fasum 45 persen. Jadi kalau dia pengembang, misalnya dia jahat atau katakanlah main dengan gubernur, jangankan 5 persen kasih kontribusi, ini saja sudah 45 persen. Bisa enggak? Bisa, kan enggak ada yang tahu ini. Makanya ini rawan dimainkan kalau gubernur tidak jujur. Saya musti tulis yang jelas. Kalau Perda? Tidak mau dong DPRD, jadi minimal Pergub nih. Ini pikiran saya. Jadi kalau mau pergub, kita harus ketemu pengusaha dong, ditulis 5 persen di luar fasos dan fasum. Ini mesti jelas dan dipertegas.
Termasuk yang kontribusi 15 persen?
Ya kontribusi, membantu untuk mengatasi banjir ditulis di situ. Lalu saya tanya, kontribusinya dalam bentuk apa? Bisa saja lagi banjir saya kirim mobile pompa air saya, perahu karet, kasih mie instan, tenda, itu sudah kontrtibusi dong? Kalau itu bukan kontribusi saya bilang. Saya inginnya Anda bikin rumah pompa, jalan atau yang lain, itu baru kontribusi yang benar.
Pemprov DKI juga menetapkan besarannya?
Saya bilang (ke pengusaha), angkanya berapa dong? Mesti jelas kan. Kalau kamu mau berkontribusi, bisa tidak tawar menawar? Bisa dong peluang tawar menawar itu. Makanya, kemudian saya kumpulin pengembang. Saya bilang, kami mau membangun tanggul, ini bisa Rp 70 triliun. Saya ingin, setiap tanah yang dijual di pulau, harus kasih kami uang untuk bangun ini minimal. Lalu kemudian, dalam praktiknya kami temukan butuh rusun. Pokoknya mau mindahin orang harus ada rusunnya, ada rumah pompanya, ada jalan inspeksi sungai. Terus yang urusan 5 persen pulau, saya ingin pegawai di sana tinggal di pulau, masa tinggal di Bekasi atau Depok tapi dia kerja di pulau. Nah, ini jadi beban saya (Pemprov DKI) dong. Bikin kereta api deh? Kalau bikin kereta api apa enggak jadi beban saya, tapi bagian pulau yang untung? Makanya saya bagikan ke semua pengusaha.
Mereka para pengembang itu setuju?
Mereka (pengembang) kemudian setuju dengan ide saya, bahwa harus ada kontribusi uang untuk membangun ini. Jadi harus diperjelas. Tapi tahu tidak mereka menawarkan ke saya berapa saat itu? Bagaimana kalau Rp 1 juta per meter? itulah yang dia tawarkan. Lalu saya bilang, kalau Rp 1 juta per meter nanti orang akan tanya ke saya kenapa tidak Rp 2 juta? Saya bisa dituduh korupsi. Lalu mereka bilang, kalau Rp 2 juta keberatan. Mereka mengatakan harus berunding dulu. Kan paguyuban. Terus saya bilang, kamu bilang Rp 2 juta pun, saya tetap takut. Lalu saya bilang, begini saja deh, semua sepakat tidak ada kontribusi tambahan? Mereka bilang sepakat. Nilainya kita suruh konsultan menghitung berapa, daripada kita bertengkar. Mereka sepakat. Lalu bubaran lah.
Bagaimana kemudian terjadi perjanjian antara Pemprov DKI dengan pengembang reklamasi?
Nah, pada saat bubaran, ini kan tidak ada aturan. lalu dasarnya apa? Perjanjian dong. Mereka mendesak ini terus. Ini sampai tahun 2014. Pada 2013, mereka ngambangin saya. Kebetulan waktu itu Waduk Pluit jebol, kemudian mau diberesin Waduk Pluit, mau dikeruk, mau dibikin jalur inspeksi. Duit dari siapa? Pengembang ini mau tidak sementara belum ada perjanjian? Tidak ada yang mau. Semua diam. Tahu enggak siapa yang mau akhirnya? PTB Jakpro. PT Jakpro kita tekan, kan milik kita sendiri (BUMD). PT Jakpro bersedia mengerjakan untuk menjadi kontribusi tambahan pulau. Ternyata saya pun baru tahu, PT Jakpro itu kerjasama dengan Podomoro. Ternyata ada satu pulau Jakpro di 2012 (sebelum Jokowi-Ahok), itu hasil kerjasama dengan Podomoro. Jadi itu ceritanya.
Itulah kenapa, 2014, izin prinsip mereka lewat. Izin prinsip kan cuma 2 tahun. Terus saya undang mereka, saya tanya mana kontribusi kalian? Saya undang, PT Agung Sedayu Group tidak mau datang. Kenapa? Karena dia merasa izin reklamasi sudah selesai dan tidak butuh (Pemprov DKI) dan ini sudah tidak berlaku, itu konsep Agung Sedayu. Lalu, kalau berlaku kita susah dong menjerat mereka. Yang datang akhirnya Podomoro, Ancol, Intiland, Jakpro. Hanya empat yang datang. Duanya punya kita sendiri nih (BUMD). Ketemulah mereka, saya buatkan lah perjanjian pada tanggal 13 Maret 2014. Perjanjiannya apa? Saya sebutkan pekerjaannya apa saja. Saya sebutkan Waduk Pluit yang sudah Jakpro kan belum diserahterimakan juga. Saya sebutkan satu persatu, item per item. Terus semuanya tanda tangan. Kamu kalau sudah tanda tangan ini, baru saya kasih (izin) prinsip, kalau engak saya biarkan, karena enggak jelas kontribusi buat DKI-nya. Maka tanda tanganlah mereka.
Mereka sepakat soal angka 15 persen?
Kan belum hitung kita. Makanya disebutkan, nanti nilainya disebut 'akan diperhitungkan sebagai kewajiban tambahan'. Di sinilah keluar kalimat kewajiban tambahan, atas pemberian izin prinsip pelaksanaan. Ini yang saya marah disebut saya melakukan barter. Barter itu sama-sama untung. Ini bukan barter, tapi ini lebih cocok, 'lu sepakat, gue todong, itu kalau ngomong bahasa kasar.
Dari sekian pengembang itu hanya Podomoro yang setuju soal kontribusi tambahan?
Jadi kenapa saya senang dengan Podomoro, kan waktu itu saya bilang dengan dia, lu bantu gue bangun rusun, lu percaya sama gue, gue enggak mau tanda tangan kalau rusun belum jadi. Makanya dia bangun lah rusun di Muara Baru 8 blok dan di Daan Mogot 8 blok. Makanya gue senang dengan Podomoro, belum ada perjanjiannya tapi dia sudah bangun. Bagi gue bodoh amat mau dia atau yang lain, toh nanti kan nilanya dia lebih untung.
Maksudnya lebih untung?
Nilai pada waktu diserahkan pasti harga bahan bangunan sudah naik, lu akan lebih untung. Jadi kalau dikerjakan lebih dulu, lu akan lebin untung. Lu percaya sama gue deh. Sejak itulah semua kali inspeksi dikerjain (Podomoro), karena kalau pada saat serah terima harga semen pasti akan lebih mahal.
Apa dasar Anda bikin diskresi untuk nagih kontribusi tambahan?
Ini ada perjanjian model tahun 1997, disebutkan bahwa pihak pertama yakni Pemprov DKI berhak berwenang menagih dan menerima pembayaran kontribusi atas pelaksanaan reklamasi, hasil pembangunan sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Nah, ini ngambang. Jadi gue ada dasar tidak? Ada, tapi gue bikin lebih jelas supaya tidak ada permainan. Kalau gue mau kaya gue diam-diam aja main ini, enggak ada yang tahu, gue kaya raya bos.
Di situ disebutkan, kontribusi adalah sumbangan pihak kedua berupa uang dan atau fisik infrastruktur di luar area pengembangan pihak kedua kepada pihak pertama dalam rangka menata kawasan pantai utara Jakarta sesuai Keppres Nomor 52 Tahun 1995. Ada dasar enggak tuh? Jadi dasar saya bikin perjanjian ini apa? Ada Presiden perjanjian tahun 1997. Sama dong. Kalau pengusaha mau gugat saya, nah ini dia ada dasarnya. Jadi inilah bukti semua kenapa saya begitu marah bicara barter.
(erd/erd)
Sumber : www.detik.com
0 Response to "Ahok: Ini Bukan Barter Tapi Lebih Cocok, 'Lu sepakat, Gue Todong'"
Post a Comment