Jakarta -
Perjalanan jemaah haji saat ini sudah lebih mudah dibandingkan dengan zaman dulu. Berhaji di masa lampu membutuhkan waktu yang lama, mental dan fisik yang kuat agar bisa melalui perjalanan yang panjang hingga berbulan-bulan.
Seperti yang diceritakan oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dalam karyanya Kisah Pelayaran Abdullah yang dikutip dari buku Historiografi Haji Indonesia tulisan M. Shaleh Putuhena. Abdullah menjalankan ibadah haji pada pertengahan abad 19 tahun 1854.
Abdullah berangkat menggunakan kapal layar dari pelabuhan embarkasi di Nusantara dan Singapura. Perjalanan untuk sampai ke Jeddah harus melalui pelabuhan-pelabuhan di Samudera India dan Laut Merah.
Baca: Saat Petani dan Nelayan Indonesia Sampai ke Rumah Allah di Abad ke-18
Butuh berhari-hari bagi Abdullah dan rombonga untuk sampai di tempat transit pertama yakni di kota Alfiah, sebuah kota yang sebagian penduduknya muslim dan sebagian lagi Hindu. Di kota ini Abdullah harus berganti kapal.
Setelah menunggu hingga enam hari akhirnya Abdullah bisa melanjutkan perjalanan dengan kapal haji Atia Rahman. Kapal ini lalu singgah di Kalikut, Mokha, Hudaidah hingga sampai ke Jeddah.
Sehari sebelum sampai Jeddah, kapal mengurangi kecepatan dan melaju perlahan di Yalamlam. Hal ini dilakukan agar jemaah haji memiliki kesempatan untuk memakai pakaian Ihram. Yalamlam merupakan miqat makani bagi jemaah haji Nusantara.
Selama perjalanan dengan kapal layar banyak ujian menghadang. Mulai dari kondisi kapal yang sempit dengan muatan barang, jatah makan seadanya, hingga cuaca. Abdullah menuliskan bagaimana kondisi laut kala itu.
Tiada dapat hendak dikabarkan bagaimana kesusahannya dan bagaimana besar gelombangnya, melainkan Allah yang amat mengetahuinya. Rasanya hendak masuk ke dalam perut ibu kembali, gelombang dari kiri lepas ke kanan dan yang di kanan lepas ke kiri. Maka segala barang-barang dan peti-peti dan tikar bantal berplantingan. Maka sampaikan ke dalam (kapal) air bersemburan, habislah basah kuyup. Maka masing-masing dengan halnya, tiada lain lagi dalam pikiran melainkan mati.
Maka hilang-hilangnya kapal sebesar itu dihempas gelombang. Maka rasanya gelombang itu lebih tinggi daripada pucuk tiang kapal. Maka sembahyang sambil duduk berpegang.
Pada ketika itu hendak menangispun tiada berair mata, melainkan menangis keringlah bibir. Maka berbagailah berteriak akan nama Allah dan Rasul.
Begitulah gambaran kondisi laut waktu Abdullah dan rombongan di kapal layar berada di kepulauan Gamri. Meski penuh perjuangan dan mau di depan mata, namun semangat untuk sampai ke Tanah Suci tetap tinggi.
Sumber : http://news.detik.com
0 Response to "Kisah Berlayar ke Tanah Suci, Kapal Diterjang Badai"
Post a Comment