Jakarta - Guru besar IPB Bogor Prof Dr Euis Sunarti dan 11 temannya meminta Mahkamah Konstitusi (MK) meluaskan makna pasal asusila dalam KUHP. Dalam gugatannya itu, Euis dkk berharap kumpul kebo dan homoseks bisa masuk delik pidana dan dipenjara.
Salah satu pasal yang digugat adalah Pasal 292 KUHP. Pasal itu saat ini berbunyi:
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Pemohon meminta pasal itu menjadi:
Orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang dari jenis kelamin yang sama, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.
Berdasarkan catatan detikcom, Kamis (25/8/2016), para pemohon menghadirkan sembilan saksi untuk meyakinkan majelis. Kesembilan orang itu adalah:
1. Asrorun Nian Sholeh (KPAI).
2. Atip Latipulhayat (Ahli pidana Universitas Padjadjaran).
3. Hamid Chalid (Ahli hukum tata negara UI).
4. Neng Djubaedah (Ahli hukum UI).
5. Adian Husaini (Ahli pendidikan).
6. Dewi Inong Irana (dokter).
7. Musni Umar (sosiolog).
8. Dadang Hawari (psikolog).
9. Mudzakkir (Ahli pidana UII Yogyakarta).
Kesempatan bagi pemohon telah selesai dan pekan depan giliran MK mendengarkan pihak terkait untuk memaparkan pendapatnya.
Sepanjang persidangan yang mendengarkan kubu pemohon, perdebatan nilai-nilai agama, moral, HAM tidak terelakkan. Salah satunya argumen dari Mudzakkir yang menyatakan perlunya Indonesia mendefinisikan ulang KUHP sesuai filosofi keindonesiaan.
"KUHP Belanda bidang kesusilaan itu filsafatnya adalah free sex, tapi begitu masuk Indonesia di atasnya ada Undang-Undang Dasar Tahun 1945, ada Pancasila, ada pembukaan, ada norma-norma dasar di situ apa kita harus ngomong seperti itu juga? Ternyata Alhamdulillah, Republik Indonesia kemudian memasukkan Pasal 29 sudah ada. Sekarang terakhir kemarin ditambah Pasal 28 huruf b, saya kira itu sempurna menurut saya," cetus Mudzakir.
"Saya ingin sampaikan bahwa mari kita tengok kembali sesuai dengan sistem hukum nasional Indonesia, sistem hukum nasional Indonesia. Kalau kita punya KUHP, maka KUHP harus dinasionalisasi melalui apa? Melalui pemikiran hukum, penegakan hukum, dan seterusnya. Maka cantolan yang di atas filsafatnya adalah Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa dan seterusnya, Pembukaan, UUUD 1945 Pasal 29, dan yang terakhir adalah Pasal 28B, maka itu harus untuk mengintepretasi norma-norma yang telah ada," papar Mudzakir.
Adapun Hamid menilai ada bahaya yang amat mengancam jika fenomena LGBT itu dibiarkan berkembang di tengah masyarakat. Ia mencontohkan sepasang lelaki yang dengan santai berciuman di Stasiun UI, Depok, sebagai tanda menurunnya moral masyarakat. Oleh sebab itu, Hamid menantang MK untuk memberikan batasan yang jelas dalam kasus itu.
"Inilah saatnya MK menorehkan tinta sejarah untuk membenahi masyarakat kita," kata Hamid berharap.
Ramai pula diperdebatan pendefinisian apa itu lesbian, gay, biseksual dan transgender.
"Penyebab lain adalah pengaruh lingkungan di antara pendidikan yang pro homoseksual, toleransi seksual, dan hukum terhadap perilaku homoseksual. Adanya figur yang secara terbuka berperilaku homoseksual secara penggambaran bahwa homoseksual adalah perilaku yang normal yang bisa diterima. Nah, ini sekarang kampanye kan, begitu. Nah, ini harus hati-hati. Perilaku LGBT bisa menular kepada orang lain. Menular," ujar Dadang.
Selama persidangan, masing-masing hakim konstitusi memilih pasif atas masalah yang ada dan menyimpan keyakinannya sampai putusan diucapkan nantinya. Kecuali hakim konstitusi Patrialis Akbar yang berani memaparkan sebagian pemikirannya terkait materi yang diuji tersebut.
"Kita sangat berbeda karena kita bukan negara sekuler. Negara ini mengakui agama. Kebebasan itu dibatasi nilai-nilai keamanan dan ketertiban. Melihat satu masalah tidak boleh hanya dari satu perspektif. Kalau hanya dilihat perspektif HAM, harus kita perdebatkan. Apakah melakukan pencabulan, perzinaan, dibenarkan HAM. Harus komprehensif," kata Patrialis.
Adapun hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna hanya mengomentari secara formal, tidak sampai materi perkara--apakah setuju atau tidak dengan materi gugatan--. Palguna hanya mengingatkan para pemohon bahwa MK bukanlah pembentuk UU.
"Mahkamah Konstitusi pada dasarnya adalah negatif legislator. Jangan meminta Mahkamah untuk menjadi positif legislator, jangan meminta Mahkamah untuk menjadi pembuat undang-undang. Nanti DPR sama presiden marah," kata Palguna.
Lalu bagaimana dengan Ketua MK Arief Hidayat sendiri? Sepanjang persidangan, Arief sangat pasif dan hanya berperan sebagai pengatur jalannya lalu lintas perdebatan. Guru besar Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu menyimpan pendapatnya terkait pokok perkara LGBT itu. Tapi dalam kasus gugatan perkawinan beda agama, Arief menyatakan bahwa Indonesia bukanlah negara agama, tapi juga bukan negara sekuler.
"Indonesia itu bukan negara bukan negara berdasar agama, tapi konstitusi. Kita juga bukan menganut negara sekuler, tapi konstitusi kita menganut sebagai negara yang berdasar pada Pancasila. Kan itu artinya, di situ bisa diartikan sinar atau dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu harus menjadi landasan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Itu harus diuraikan dari situ landasan filosofinya," kata Arief pada sidang 4 September 2014.
Sidang yang dimaksud dalam kasus permohonan perkawinan beda agama dan hasilnya MK menolak permohonan itu sehingga negara hanya mengakui perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan oleh sepasang suami istri yang satu agama.
Bagaimana dengan hakim konstitusi Maria Farida Indarti? Sama dengan Arief, ia juga memilih pasif di kasus gugatan Euis. Tapi apabila ditelusuri lebih jauh, pandangan Maria soal hubungan agama-negara terlihat dalam putusan perkawinan beda agama. Kala itu, Maria menolak permohonan perkawinan beda agama, tetapi ia mempunyai catatan sendiri (concurring opinion).
"Penambahan frasa tersebut justru akan membuat ketidakpastian hukum dan menimbulkan berbagai penafsiran. Oleh karena penafsiran mengenai hukum agamanya dan kepercayaannya itu diserahkan kepada masing-masing calon mempelai, sehingga akan timbul penafsiran yang lebih bervariasi," ucap Maria.
Persidangan LGBT memang belum selesi. Sebab MK memastikan akan mendengarkan dua pihak yang itu Komnas Perempuan dan The International Legal Resource Centre. Argumen keduanya bisa jadi mengubah peta putusan MK nantinya, atau MK memiliki keyakinan tersendiri atas kasus tersebut.
Sumber : http://news.detik.com
0 Response to "Ketika MK Ditantang Menarik Garis Batas Moral di Kasus LGBT dan Kumpul Kebo"
Post a Comment