Menyusuri Akar Masalah Reklamasi dan Argumentasi Keliru yang Mengikutinya


Jakarta - Reklamasi merupakan hal yang sulit dihindari terutama bagi kota pantai yang memiliki pertumbuhan penduduk yang besar dengan aktivitas ekonomi yang padat. Hal ini disebabkan karena kondisi daratan sebuah kota pantai cenderung mengalami overcapacity sehingga perlu mencari alternatif lahan untuk pengembangan kota. 

Reklamasi hampir dilakukan oleh semua negara di belahan dunia yang memiliki kota di wilayah pesisir dan laut. Sebut saja Belanda, 1/6 luas wilayahnya 
merupakan lahan reklamasi (700.000 Ha); Singapura, penambahan lahan reklamasi mencapai 20% dari luas wilayahnya (13.500 Ha) dan rencana akan ditambah lagi 10.000 Ha; dan Jepang di Teluk Tokyo, reklamasi mencapai 249 km2 (termasuk pulau buatan Obaida). 

Adapun Indonesia, beberapa waktu belakangan disuguhi pro-kontra yang tajam terkait rencana reklamasi baik di Ibukota negara mau pun beberapa daerah lainnya. Terutama di DKI Jakarta, isu reklamasi kemudian menjadi sangat menarik karena telah menelan korban dari permufakatan jahat terkait reklamasi ditambah sedikit bumbu pilkada serentak 2017 yang akan diikuti oleh Guberbur DKI yang sekaligus dianggap sebagai pemicu 'kegaduhan' akibat kebijakan reklamasi yang telah diambil. 

Beberapa isu yang mengemuka terkait reklamasi Teluk Jakarta adalah permasalahan izin reklamasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah DKI melalui Keputusan Gubernur No. 2238 Tahun 2014 tertanggal 23 Desember 2014. Bermasalah karena menurut Pemerintah DKI izin dikeluarkan dengan mengacu pada Perpres Nomor 52 Tahun 1995 tentang reklamasi. Sementara pihak yang kontra memandang bahwa dasar hukum izin reklamasi yang dikeluarkan tersebut sudah kedaluwarsa seiring dengan diberlakukannya UU No 27 tahun 2007 jo UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 

Dalam pasal 34 (3) UU ini disebutkan bahwa perencanaan dan pelaksanaan reklamasi diatur dengan Peraturan Presiden, dan inilah yang menjadi dasar keluarnya Perpres No. 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi. Untuk mengetahui lebih jauh apakah telah terjadi pelanggaran aturan oleh Pemprov DKI 
maka seyogyanya mengacu pada Perpres tersebut. 

Dalam Perpres No. 122 Tahun 2012 Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa penentuan lokasi reklamasi dilakukan berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi. Disebutkan dalam UU No. 27 Tahun 2007, RZWP-3-K merupakan arahan pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pemerintah provinsi dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. RZWP-3-K inilah yang menjadi penyebab terjadinya praktek korupsi di pusaran kekuasaan di Ibukota Negara Republik Indonesia. 

Dalam konteks ini, maka menjadi pertanyaan adalah apakah pemerintah daerah benar-benar abai terhadap mekanisme tersebut (baca: Perda RZWP3K) ataukah ada faktor lain yang menyebabkan daerah kemudian tidak berdaya dalam mengikuti aturan yang ada. Penyusunan RZWP3K Rumit dan Berbiaya Tinggi Perlu diketahui bahwa sebelum revisi UU 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah menjadi UU No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan Daerah, Pemerintah Kabupaten/ Kota juga diwaijibkan menyusun Perda RZWP3K di wilayah pesisir dengan batasan 0 – 4 mil dari garis pantai, sementara Provinsi menyusun RZWP3K di batasan 4 – 12 mil dari garis pantai. 

Faktanya setelah 7 tahun UU No. 27 Tahun 2007 (periode 2007-2014) diundangkan, Kabupaten/ kota yang telah berhasil menetapkan Perda Zonasi baru 12 
pemerintah kabupaten/kota, 122 pemda sedang dalam proses penyusunan dan 184 pemda belum menyusun RWZP3K. Demikian pula pemerintah provinsi, sampai saat ini baru 6 dari 34 provinsi yang telah berhasi menetapkan Perda zonasinya. 

Lambatnya proses penyusunan hingga penetapan perda zonasi selama ini sebenarnya telah menimbulkan perlambatan dalam masuknya investor ke beberapa daerah mengingat tidak adanya kepastian hukum terkait izin lokasi pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang seharusnya diatur melalui mekanisme perda RZWP3K. Mengingat strategisnya Perda RZWP3K dalam pembangunan daerah, maka KPK telah turun tangan mendorong agar daerah-daerah yang belum memiliki perda untuk segera menyelesaikan penyusunannya. 

Selama ini penyusunan dokumen dan penetapan Perda Zonasi mengacu pada petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam hal ini Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (sekarang Direktur Perencanaan Ruang Laut). Juknis penyusunan RZWP3K tersebut mencantumkan 13 tahapan yang harus dilalui untuk sampai pada tahapan penetapan Ranperda menjadi Perda RZWP3K. 

Ke-13 tahapan ini oleh penulis dianggap ada tahapan yang menjadi faktor lambatnya penetapan Perda Zonasi sehingga ke depan perlu dikoreksi, yakni: 

Pertama, survei lapangan. Tahap ini merupakan tahap ke-3 dan sangat fundamental dalam penyusunan dokumen zonasi. Hanya saja dalam realitas penganggaran, tahap ini menjadi momok bagi daerah karena dikemas dalam format yang sangat scientific yang berkonsekuensi pekerjaan menjadi lama dan berbiaya tinggi. 

Kedua, konsultasi publik. Kuantitas dan kualitas keterlibatan publik dalam penyusunan dokumen RZWP3K selama ini masih mengandung beberapa kelemahan, sehingga perlu ditinjau kembali agar mekanisme penyusunannya tidak menjadi lingkaran setan yang tidak kunjung ada penyelesaian. 

Ketiga, permohonan tanggapan. Permasalahan dalam tahapan ini lebih bersifat non-teknis dimana seringkali sulit membangun kesepahaman antara penyusun dokumen RZWP3K (baca : konsultan) dengan pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan. 

Berdasarkan premis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang timbul dalam proses pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk masalah reklamasi di DKI Jakarta tidak semata-mata disebabkan oleh kelalaian pemerintah daerah melainkan adanya mekanisme yang diluar kemampuan daerah untuk diselesaikan. 

Argumentasi keliru terkait reklamasi DKI Jakarta dengan tidak bermaksud memihak, penulis mencoba melihat secara objektif beberapa komentar yang disampaikan oleh beberapa kalangan terkait reklamasi di Teluk Jakarta. Hal ini perlu agar segenap stakeholder mempunyai pembanding dalam menilai rencana reklamasi tersebut. 

Pertama, bekurangnya hasil produksi nelayan. Perlu diketahui beberapa tahun belakangan hampir seluruh perairan pesisir Indonesia telah mengalami degradasi sumberdaya ikan sebagai akibat dari pemanfaatan tak terkontrol di wilayah tersebut, sehingga sangat aneh jika disebutkan akibat reklamasi telah mengurangi penghasilan nelayan. 

Kalaupun hal tersebut benar, maka seharusnya negara harus siap bertanggung jawab jika di kemudian hari ditemukan dampak negatif dari mengkonsumsi ikan hasil tangkapan di sekitar wilayah reklamasi, mengingat wilayah ini sudah tercemar berat baik berupa limbah organik maupun logam berat. 

Kedua, waktu bilas air laut semakin lama. Waktu bilas yang dalam istilah oseanografi dikenal sebagai flushing time (tf) memang sangat mempengaruhi waktu tinggal (residence time) suatu bahan yang memasuki perairan. Namun menganggap bahwa reklamasi memperlama flushing time ini menjadi bias, mengingat di daerah teluk yang bersifat semi tertutup (semi enclose) dominan dipengaruhi oleh pasut sehingga keberadaan pulau-pulau reklamasi memungkinkan mempercepat terjadinya flushing. 

Karena di perairan yang lebih terbuka (jauh dari garis pantai) dinamika perairan jauh lebih dinamis. Dalam konteks ini penulis menyarankan dilakukan permodelan hidrooseanografi agar informasi yang dibangun lebih scientific dan akurat. 

*) Dr. Kasman MK, S.Si, M.Si adalah Dosen Pascasarjana Kajian Pembangunan Wilayah dan Perkotaan, Universitas Krisnadwipayana (Unkris). 

Sumber: http://news.detik.com





Berlangganan Berita Terbaru:

0 Response to "Menyusuri Akar Masalah Reklamasi dan Argumentasi Keliru yang Mengikutinya"

Post a Comment

Sumber Lain