Hasil refleksi Simposium 1965 mengungkapkan walaupun
peristiwa itu diwarnai aksi horisontal, tetapi diakui ada keterlibatan
negara.
JAKARTA- Di tengah kontroversi tindakan
aparat terkait dugaan penyebaran ajaran komunisme, panitia tragedi
Simposium 1965 akan menyerahkan rumusan rekomendasinya kepada pemerintah
melalui Menkopolhukam Luhut Panjaitan, pada Rabu (18/05) sore.
Melalui
pesan tertulis yang diterima BBC Indonesia, Deputi Menkopolkam bidang
koordinasi komunikasi informasi dan aparatur, Agus R Barnas, membenarkan
bahwa pihaknya akan menerima panitia pengarah Simposium 1965 sekitar
pukul 16.00 WIB, Rabu sore.
Secara terpisah, ketua panitia
pengarah Simposium 1965, Agus Widjojo, membenarkan bahwa pihaknya akan
diterima oleh Menkopolhukam Luhut Panjaitan terkait rumusan rekomendasi
simposium tersebut.
Saksi hidup, keberadaan kuburan massal di hutan Jeglong di pinggiran kota Pati, Jateng.
"Kemarin sudah diberitahu, tinggal menunggu
kepastian waktunya," kata Agus Widjojo kepada wartawan BBC Indonesia,
Heyder Affan, Rabu siang, melalui saluran telepon.
Agus Widjojo
tidak bersedia mengungkapkan rumusan rekomendasi, karena pihaknya tidak
berwenang mempublikasikannya kepada publik. "Itu hak prerogatif
pemerintah untuk membukanya kepada publik atau tidak," katanya.
Ditanya apakah rumusan rekomendasi itu akan menyinggung soal
penyelesaian non-judisial terkait tragedi 1965, Agus mengatakan: "Dari
awal, kita sudah menjurus penyelesaian non-judisial, karena tragedi 65
memenuhi persyaaratan untuk diselesaikan secara non-judisial."
Namun
demikian, sambungnya, rumusan rekomendasi simposiumi '65 " tidak
bersifat praduga dengan proses hukum (tragedi 1965) yang sudah berjalan
dan sedang berjalan".
'Keterlibatan negara'
Simposium
tragedi 1965, yang berakhir pada pertengahan April lalu, disponsori
oleh pemerintah dan diharapkan dapat menyelesaikan peristiwa kekerasan
pasca Oktober 1965 terhadap orang-orang yang dituduh simpatisan atau
anggota PKI.
Sebelum ditutup, hasil refleksi yang dibacakan
anggota Dewan Pertimbangan Presiden sekaligus penasihat simposium 1965,
Sidarto Danusubroto, mengungkapkan walaupun peristiwa itu diwarnai aksi
horisontal, tetapi diakui ada keterlibatan negara.
Selain dihadiri sejumlah menteri pada acara
pembukaan, simposium yang berlangsung dua hari sempat diwarnai unjuk
rasa 'anti PKI' tetapi berhasil dihalau oleh aparat kepolisian.
Dihadiri
oleh perwakilan penyintas atau korban kekerasan pasca Oktober 1965, eks
tapol '65, aktivis HAM, serta perwakilan pemerintah, simposium memberi
tempat khusus pada penyelesaian non-judisial terhadap tragedi tersebut.
Sempat terjadi polemik terkait angka korban meninggal pada tragedi
itu, setelah mantan prajurit RPKAD Letjen (purnawirawan) Sintong
Panjaitan meragukan jumlah korban tewas yang telah diungkapkan para
peneliti.
Pernyataan Menkopolhukam Luhut Panjaitan yang menyebut
pemerintah tidak akan meminta maaf terkait peristiwa kekerasan 1965 juga
sempat menimbulkan pro dan kontra, walaupun belakangan pernyataan itu
diralat oleh Presiden Joko Widodo yang saat itu berada di London,
Inggris.
Kuburan massal
Tidak
lama setelah simposium berakhir, Presiden Joko Widodo meminta agar
dugaan keberadaan kuburan massal 1965 diselidiki, dan ditindaklanjuti
pernyataan Menkopolhukam Luhut Panjaitan yang meminta masyarakat
menyerahkan bukti-bukti keberadaan kuburan massal tersebut.
Yayasan
penelitian korban pembunuhan (YPKP) 1965 kemudian menyerahkan dokumen
yang berisi data-data terkait kuburan massal yang diklaim ada 122 titik
di sebagian Jawa dan Sumatra.
YPKP 1965 meyakini ada 122 titik kuburan massal di sebagian wilayah Jawa dan Sumatra.
Pemerintah melalui Menkopolhukam kemudian
menjanjikan pembentukan tim terpadu, sekaligus meminta penyelidikan
terkait klaim kuburan massal itu 'tidak diganggu' oleh pihak manapun.
Ketika
proses ini berlangsung, ada laporan-laporan yang menyebutkan adanya
temuan atribut PKI di sejumlah daerah yang kemudian ditindaklanjuti
upaya pemeriksaan, penggeledahan dan penyitaan oleh aparat TNI dan
kepolisian.
Sempat diprotes oleh para aktivis HAM, Presiden Joko Widodo kemudian
meminta aparat hukum melakukan upaya hukum jika terbukti ada upaya untuk
menghidupkan kembali ajaran komunis atau PKI.
Para pegiat HAM
kemudian memprotes karena ada tindakan aparat kepolisian dan TNI yang
dianggap 'kebablasan' dan melanggar hukum terkait pemeriksaan dan
penyitaan buku-buku 'kiri'.
Saling percaya
Terkait
kontroversi tindakan aparat keamanan yang dianggap melakukan 'tindakan
teror dan intimidasi' terkait dugaan penyebaran ajaran Komunisme, Agus
Widjojo mengatakan, para pihak yang terkait perlu membangun saling
percaya dan memberi kepercayaan.
Salah-satu pihak yang mencurigai kebangkitan PKI adalah Front Pembela Islam, FPI.
Ditanya apakah persepsi yang berkembang di
masyarakat terkait tragedi 1965 dan latar belakangnya, akan dimasukkan
dalam rumusan rekomendasi simposium '65, Agus mengatakan: "Ya, mau tidak
mau harus kita lewati, walaupun tidak semestinya muncul dalam
rekomendasi."
Agus kemudian melanjutkan: "Karena, rekonsiliasi
perlu pembangunan saling percaya dan memberi kepercayaan. Tanpa itu,
rekonsiliasi tidak bisa diwujudkan, dan hal-hal semacam itu merupakan
kenyataan yang ada di lapangan yang tidak bisa diabaikan."
Karena
itulah, dia mengharapkan: "Masing-masing pihak untuk memahami apa yagn
diharapkan, diperkirakan dari masing-masing pihak untuk memberi
sumbangan bagi pembangunan keadaan yang kondusif guna menuju
rekonsiliasi."
0 Response to "Rekomendasi Simposium 1965 di tengah kecurigaan terhadap PKI dan komunisme"
Post a Comment